PENDAHULUAN
1 Latar Belakang Masalah
Masalah Pedagang Kaki lima (PKL)
tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul
setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam
pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang
publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek
kebersihan, keindahan, dan kerapian kota atau kita kenal dengan istilah 3K.
Oleh karena itu PKL seringkali menjadi target utama kebijakan – kebijakan
pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.
Hal ini merupakan masalah yang
sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan antara
kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan
menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang
umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu
kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi
diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian
ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya Perda yang melarang keberadaan
mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah
didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahtraan rakyat
atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas oportunitas.
2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah:
1.
Pengertian
pedagang kaki lima?
2.
Masalah
keberadaan pedagang kaki lima (Input)?
3.
Persepsi
masyarakat terhadap PKL (Input)?
4.
Apa
sajakah kebijakan– kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menangani masalah
Pedagang Kaki Lima itu (Output)?
5.
Dampak
positif dari hadirnya PKL (Benefit)?
6.
Dampak
negatif dari hadirnya PKL(Impact)?
7.
Perlindungan
hukum?
8.
Harapan
masyarakat kedepannya (Outcome)?
3 Tujuan Masalah
TujuanPenulisan ini adalah:
1.
Untuk
mendeskripsikan pengertian dari Pedagang Kaki Lima.
2.
Untuk
mendeskripsikan alasan dipermasalahkannya Pedagang Kaki Lima oleh pemerintah.
3. Untuk
mendeskripsikan kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menangani
masalah Pedagang Kaki Lima.
4.
Persepsi
Masyarakat terhadap PKL
5.
Perlindungan
Hukum
6.
Harapan Masyaraat
kedepannya
PEMBAHASAN
1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat
PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima
kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang
sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL
juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal
dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap
jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar
luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah
meter.
Dari hasil penelitian oleh Soedjana (1981)
secara spesifik yang dimaksud pedagang kaki lima adalah sekelompok orang yang
menawarkan barang dan jasa untuk dijual diatas trotoar atau tepi/ dipinggir
jalan, disekitar pusat perbelanjaan /pertokoan,pusat rekreasi atau hiburan,
pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap ataupun tidak
menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi,
siang, sore maupun malam hari.
Dari segi ekonomi tentunya jelas dapat dilihat bahwa dengan
adanya PKL dapat diserap tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut
dalam mendapatkan penghasilan. Dari segi sosial dapat dilihat jika kita rasakan
bahwa keberadaan PKL dapat menghidupkan maupun meramaikan suasana. Hal ini
menjadi daya tarik tersendiri, selain itu dalam segi budaya, PKL membantu suatu
kota dalam menciptakan budayanya sendiri.
2 Masalah Keberadaan Pedagang Kaki
Lima (Input)
PKL keberadaannya memang selalu
dipermasalahkan oleh pemerintah karena ada beberapa alasan, yaitu diantaranya:
- Penggunaan
ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena dapat
membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
- PKL
membuat tata ruang kota menjadi kacau.
- Keberadaan
PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar menekankan
aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan kota.
- Pencemaran
lingkungan yang sering dilakukan oleh PKL.
- PKL
menyebabkan kerawanan sosial.
Kemungkinan terjadinya persaingan
tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi
informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun mereka sering membayar
”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai
pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan
menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak
berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan
meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih
40 juta penduduk sedang menganggur yang menjadi perhatian kita. Seandainya
pemerintah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus
menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha
baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi
karena dianggap ilegal.
Bagaimanapun juga PKL adalah juga
warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya,
berserikat, dan berkumpul. Seperti tercantum dalam UUD 45 Pasal 27
ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha
kecil : Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
Menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi
di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian
rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang
kaki lima, serta lokasi lainnya. Memberikan bantuan konsultasi hukum dan
pembelaan.
Contoh kasus penanganan pedagang
kaki lima di jakarta (PKL tanah abang).
3 Persepsi Masyarakat
terhadap PKL (Input)
Responden yang diperoleh dari
wawancara menyatakan pendapat yang berbeda-beda. Diantaranya, ada
masyarakat yang beranggapan bahwa keberadaan PKL di perkotaan
bisa kita katakan tidak teratur, umunya mereka tidak tertib dan jorok karena
mereka berjualan di trotoar jalan, di
taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan, sehingga
menjadi/ penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota.
4 Kebijakan Pemerintah Dalam
Menangani Masalah PKL (Output)
Fenomena PKL dan masalah – masalah
yang ditimbulkan PKL seperti yang telah diuraikan di atas, dianggap menyulitkan
dan menghambat pemerintah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih dan tertib
salah satunya, walaupun pemerintah telah membuat kebijakan Pemerintah Daerah
untuk melarang keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak. Dan
tentu kebijakan Pemerintah Daerah tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL
karena kebijakan pemerintah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan
para PKL. Kemudian yang menambah daftar panjang permasalahan PKL ini
adalah pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam praktiknya banyak menggunakan
kekerasan. Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan pemerintah justru akan
menjadi boomerang bagi pemerintah itu sendiri, sehingga akan timbul
ketidakstabilan, anarkisme, dan ketidaktentraman yang dampaknya justru akan
menurunkan citra pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Yang paling menarik
menurut kami dari adanya permasalahan PKL ini adalah karena PKL menjadi sebuah
dilema tersendiri bagi pemerintah.
Di satu sisi PKL sering
mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economiy. Kita juga harus melihat bahwa PKL memiliki beberapa
segi positif, salah satunya adalah memberikan kemudahan mendapatkan barang
dengan harga terjangkau. Apabila Indonesia ingin bebas dari PKL maka pemerintah
harus memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada para PKL
tersebut, dan juga memberikan alternatif tempat membeli barang dengan harga
yang murah khususnya pada warga golongan menengah bawah. Apabila masyarakat
dipaksakan untuk membeli barang yang harganya lebih tinggi daripada membeli di
PKL maka daya beli masyarakat akan berkurang dan akan merembet pada bidang lain
terutama kesehatan dan pendidikan.
Apabila kita berbicara
mengenai kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah pasti mempunyai alas hak
(aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa pemerintah tunduk
pada undang-undang.
Kebijakan
publik mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi
pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Berbicara mengenai kebijakan
pemerintah berarti di sini adalah segala hal yang diputuskan pemerintah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat
kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua
model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up.
Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan
pemerintah, sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.
Kembali pada persolan pertama, bahwa
pemerintah dalam hal ini memiliki suatu kebijakan untuk menangani masalah PKL,
yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan PKL dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah. Pemerintah Kota/daerah mengeluarkan kebijakan yang isinya
antara lain .
1.
Pedagang
Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2.
Kios
kios tersebut disediakan secara gratis. Setiap
kios setiap bulan ditarik retribusi. Bagi Pedagang yang tidak pindah
dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan
sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota
menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL
dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios – kios yang disediakan
pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu,
pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan
pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal
yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi
para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang
diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap
rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi
bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
-
Pertama
dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak
sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat
dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke
dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini
dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten
Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas
Pengelolaan Pasar.
-
Kedua
adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara
pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi
timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah
seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan
ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik
temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima
menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan
sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki
lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan
kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya
sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang
ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan
terhadap kebijakan relokasi.
5 Dampak Positif dari
Hadirnya PKL (Benefit)
Pada umumnya barang-barang yang
diusahakan PKL memiliki harga yang tidak tinggi, tersedia di banyak tempat,
serta barang yang beragam, sehingga PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota,
karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah kebawah yang
memiliki daya beli rendah. Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan
ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota
karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis. Hal ini
dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang
digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak
menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
6 Dampak Negatif dari
Hadirnya PKL (Imfact)
PKL mengambil ruang dimana-mana,
tidak hanya ruang kosong atau terabaikan tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya
secara formal. PKL secara ilegal
berjualan hampir di seluruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur
hijau, dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk
mendatangkan konsumen.
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat
keberadaan PKL tersebut.
Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan
pejalan kaki berdesak-desakan,
sehingga dapat timbul
tindak kriminal (pencopetan), mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena
lokasinya yang cenderung memotong jalur
pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko dan sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah
mengalami penurunan mutu yang berhubungan
dengan kepuasan konsumen.
7 Perlindungan Hukum
Pasal 27 ayat (2) UUD 45: Tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan,
dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi
dipasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat,
lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima,
serta lokasi lainnya. Memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan. Dengan
adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima, harus lebih mengutamakan
penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3
(Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang
Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan,
serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya.
8 harapan masyaraat
kedepannya (Outcome)
Pemerintah semestinya menempatkan
Pedagang Kaki Lima didaerah yang tersedia infrastruktur yang meliputi
penyediaan air, listrik, dan tempat sampah yang baik untuk pedagang
warung makanan.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pemerintah
menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan yang tepat
untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan
nama PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk
menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus
efektif.
2.
PKL
yang dianggap ilegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan –alasan lain yang
mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi
sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah
memaikan peran sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan
guna memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah
wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL
dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat
yang lainnya.
3.
Melalui
Peraturan Daerah yang jelas dan akuntabel, maka permasalahan sosial seperti PKL
dapat dihindarkan. Dengan adanya kebijakan – kebijakan alternatif yang baik
untuk masyarakat (PKL) serta ruang partisipasi yang dibuka seluas – luasnya,
maka akan menimbulkan sinergi yang baik antara pemerintah dengan PKL dalam
menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan. Jadi sebetulnya apapun
kebijakan yang dibuat pemerintah, yang paling penting dan mendasar adalah
mengenai kesejahtraan rakyat sebagaimana amanat Undang – Undang Dasar 1945
bahwa negara berkepentingan untuk mensejahtrakan rakyat yang dalam hal ini
diwakilkan kepada pemerintah.
Saran
Penulis menyadari bahwa materi
yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga untuk
mengetahui lebih luas tentang penanganan pedagang kaki lima dan kebijakan dari pemerintah,
pembaca dapat memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi,
ataupun internet.
DAFTAR PUSTAKA
HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT
Raja Grafindo.
M. Irfan Islamy, ; 2004, Kebijakan
Publik, , Jakarta: Universitas Terbuka.
http://kolumnis.com/2008/05/12/pedagang-kaki-lima-dan-lapangan-kerja-jabar
kisah kesuksesan aq,dulu aq seorang pendatang di ibukota jkrt,untuk mengadu nasib cari kerja kesana kesini,udah brp bulan aq tak ada jln kesuksesan,tp aq berani diri cari jalan atau petunjuk di internet cari yang bisa beri petunjuk,aq dpt atas nm kisongo dgn nomnya 0852 1751 9919.berkat arahan atau petunjuk beliau aq skrn sukses jd PKL di ibu kota jkrt in,klau ad mau sprt aq silakan anda bukti kan sendiri hugungi ki songo atau and lht weby d www.paranormal-kisongo.blogspot.com,in lah cerita pendek aq,terima kasih
BalasHapus