Jumat, 03 September 2010

Aco, La Barumbung yang suka berbagi

Merasa jenuh, bosan ! inilah yang kurasakan dalam minggu-mingu terakhir hidup sebagai netizen. Pengaruh iklan di TV membuat situs tongkronganku menjadi sangat ramai. Populasi yang kian meningkat, mengakibatkan para user tidak saling mengenal lagi. Semuanya seakan berubah 180 derajat. Tempat untuk saling silaturahmi, dan berbagi kini seperti pasar. Tiap orang bersenggolan di dalamnya.. Rasanya seperti lirik lagu “selalu sepi dalam keramaian” .


Kejenuhan ini ingin sekali rasanya ku ungkapkan dalam sebuah teatrikal malam jum’at. Sebuah rutinitas katarsis yang saya lakukan dalam tahun-tahun terakhir ini. Namun, teatrikal itu tertunda. Jum’at malam memberikan sebuah cerita berbeda. Sebuah pertemuan dan pencerahan yang saya dapatkan ketika bertemu dengan sahabat kecil. Teman-teman sebayanya memanggilnya “barumbung”

*****

Tubuhnya kecil, Umurnya baru 11 tahun. Pakaiannya kumal, celana panjang hitamnya robek tepat di selangkang. Badannya dekil-hitam, namun senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sosok yang selalu memakai songkok aji (peci.red), Aco namanya.


Sejak awal ramdhan, Aco tidak tinggal di rumah lagi. Dia diusir oleh ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah percakapan, Aco menceritakan ibu kandungnya telah menikah lagi dengan “wanita“. Semenjak saat itu, Aco tidak diterima lagi di rumahnya. Dia mengelandang di jalan, tiap malam begadang bersama teman, sahur di tempat yang berbeda, tidur di teras mesjid, hidup dari uang seribuan yang di dapat dari belas kasihan orang. Sungguh memilukan mendengar kisahnya. Aco adalah satu dari sekian banyak korban retaknya keluarga.


Aco senang berkawan, langkah panjangnya membawanya pada pergaulan yang luas. Penjual sari laut, Ibu-ibu , penjaga warnet, dan anak-anak kecil sebayanya adalah teman sekaligus keluarganya saat ini. Aco yang dengan pemikiran sederhananya tidak pernah mempermasalahkan hidupnya, dalam setiap percakapannya selalu tersirat makna “gampang”. Tidak ada yang berat. Mungkin itulah yang menyebabkan senyum dan tawa Aco tidak pernah hilang.


Satu hal yang membuat saya sangat senang dengan sahabat kecil ini, dia adalah sosok yang peduli. Sangat respeck terhadapa temannya,suka berbagi . Mendengar curhatan temannya yang tidak punya lauk pauk untuk sahur dirumahnya, Aco tanpa pikir panjang memberikan sebungkus mie instant - yang dia beli dari tiga ribu rupiah harta terakhirnya. Dia tidak berfikir, kalau temannya masih lebih baik dari dirinya, karena punya tempat untuk berteduh, Masih punya kompor untuk masak. Dia dengan tulus memberi.

Kalau di tanya,

“Aco, kenapa nu kasih ki mie mu? Bsok apa nu makan ?? “

“gampang jie klo saya “ tandasnya dengan enteng.


Aco, sahabat kecil yang sedang dalam kondisi kekurangan masih sempat berbagi untuk sesama. Sungguh hal yang sangat mulia.

Nah…. Apakah kita - yang masih bisa makan hari ini, masih punya rumah untuk tidur, masih punya kompor untuk di pakai masak kopi, dan masih punya keluarga yang mau menerima kita – bisa bersikap seperti Aco ?? Apakah kita masih peduli dan ikhlas unuk memberi ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar