Senin, 13 September 2010

Supir Kecil dan Supir BESAR

Tubuhnya kurus, rambutnya memutih. Kulitnya coklat kusam, Bajunya rapi tapi dekil. Masyarakat ekonomi menengah yang serba kekurangan, itulah status sosial yang saya peruntukkan kepadanya. Penghasilannya Rp.700.000,- perbulan, dipakai untuk membiayai Rumah tangga yang terdiri dari istri, dan 2 orang anak yang besekolah di bangku SMP dan SMA. Cukup sulit membayangkan jumlah Rp.700.000,- dipakai untuk membiayai kehidupan rumah tangganya, termasuk menanggung biaya pendidikan, membeli buku yang harganya cukup mahal, Membiayai SPP dan keperluan lainnya. Tapi begitulah kehidupan yang dilalui oleh Burhanuddin Daeng Kulle. Melalui bulan-bulan kehidupannya dengan perasaan Qonaah –merasa cukup. Hidup dengan keluarga kecil yang bersahaja. Tiap malam ketika semuanya berkumpul, akan terdengan canda tawa dari rumah mereka.Harinya dimulai dengan menunaikan ibadah Shalat Subuh, kemudian bersiap-siap menuju rumah jabatan kepala Dinas salah satu Instansi pemerintah di kota Makassar. Burhanuddin Daeng Kulle yang kerap disapa Pak Bur, menepuh perjalanan 17Km dari pingiran kota. Menerobos pekatnya dingin pagi dengan motor bebek sederhananya, Pak Bur tak pernah mengeluh kondisinya. Tubuhnya yang mulai menua karena memasuki umur 39 tak pernah menghalanginya untuk melakukan pekerjaannya sebagai Supir pribadi bapak Kadis. Mungkin karena sifat Qanaah dan keceriaan yang tak pernah memudar dalam keluarga Pak Bur. Yang menajadikan tubuhnya Sehat wal-Afiat. Tidak pernah dipusingi oleh beban pikiran yang besar.

Supir pribadi Pak Kadis, jabatan yang 3 tahun terakhir ini Pak Bur emban. Mungkin cara mengendaranya sama dengan supir lain, namun keuletan, tanggung jawab dan sifat santunnya sehingga beliau dipilih oleh Pak Kadis untuk menjadi Supir pribadinya. Bagi Pak Bur, pekerjaan sebagai Supir adalah pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab besar. Karena supir berhubungan dengan nyawa, tidak hanya nyawanya pribadi, tetapi juga nyawa dari penumpang mobil tersebut. Itulah yang membuat Pak Bur selalu hati-hati ketika mengantar Majikannya. Saat rasa kantuk melanda, Pak Bur tidak akan terlena, dia lebih rela menengguk kopi dalam jumlah yang lebih banyak, agar matanya tetap terbuka. Beliau tidak akan pernah menuruti keinginan tubuhnya untuk tidur, karena rasa tanggung jawab yang besar. Karena tau bahwa di tangannya ada nyawa orang lain.

Dalam aktifitas hariannya setelah mengantar Pak Kadis, Pak Bur biasa berkumpul di warung Kopi depan kantor dinas. Bercengkrama dengan sesama Supir lainnya sembari menunggu jam pulang sekolah, untuk menjemput anak Pak Kadis di sekolahnya. Terkdang setelah sampai di Kantor Dinas, Pak Burkembali lagi ke rumah majikannya untuk mengantar bu Kadis kepasar, atau ke mall berbelanja. Namun itu hanya sesekali saja..

Suatu ketika di warung kopi tempat para sopir berkumpul, mereka terlibat dalam berbagai pembicaraan salah satunya adalah cerita tentang supir Einstein

Einstein akan mempresentasikan sebuah temuannya. Namun kondisi fisiknya saat itu sedang tidak baik. Tenggorokannya terganggu, sehingga agak sulit berbicara. Melihat kondisi demikian, sopir Einstein mengambil inisitaif untuk menggantikan Einstein mempresentasikan temuannya. Hampir tiap hari dia mendengarkan Einstein menjelaskan, menghapal teori dan mengulanginya lagi. Setaip waktu ketika bersama dengan Einstein. Dia berdiskusi mengenai temuan itu. Hal ini rutin mereka lakukan. Hingga akhirnya, sang supir berhasil mempresentasikan temuan Einstein.

Mendengar cerita tersebut, hati teman-teman seprofesi Pak Bur menjadi besar. Mereka merasa bangga dengan pekerjaan mereka.

Pembicaraan di warung kopi tetap berlanjut. Sebuah tema lain yang mereka bahas dan cukup mengambil perhatian mereka adalah mengenai pembangunan gedung anggota dewan di Jakarta. Mulai dari permasalahan dana yang cukup besar mereka singgung, hingga jumlah lantai dari gedeung tersebut. Seorang supir berkata pada Pak Bur dan teman-temannya.

“liat meki Pak yang sekarang-sekarang, 3 lantai saja mereka sudah tidak lihatmi rakyatnya, apalagi kalau dibangunkan gedung lebih dari 3 lantai. Ibaratnya adaki di atas monas, trus melihat ke bawah, semuanya tampak kecil. Begitupula dengan rakyatnya.. na lihat kecil meki, bahkan tidak kelihatanjie lagi” kata salah seorang supir

Pak Bur dengan santun hanya menanggapinya dengan anggukan kepala yang berulang. Rasanya statement rekannya masuk akal juga. Apalagi melihat wakil-wakil rakyat yang dalam pemilihan priode lalu dengan pandai mengumbar janji-janji manis yang mereka pasang di setiap spanduk-spanduk, baliho-baliho, dalam pidato di kampanye, dan dalam selebaran-selebaran yang menempel di tembok. Rasanya, melihat begitu besar dana yang digunakan dalam kampanye wajaralah kalau ada anggota dewan yang hanya sibuk mengembalikan dana kampanyenya, ikut aktif dalam diskusi mengenai anggaran pembangunan, yang diharapkan melalui anggaran tadi sang pejabat bisa mendapat keuntungan.

Pak Bur, hanya merespon dengan anggukan, otanya ikut berfikir tapi mulutnya tidak berkomentar satu kata pun. Hanya sebuah senyuman ikhlas yang dia tunjukkan. Dia juga yakin, bahwa tidak semua pejabat melakukan hal demikian. Ada pula yang bertanggung jawab, yang dengan tegas membela aspirasi rakyat. Berdebat dengan Golongan pejabat “pengeruk” untuk mengambil kebijakan. Suara-suranya keras, menentang kebijakan yang menyimpang. Meskipun Pejabat seperti ini jumlahnya hanya beberapa saja, namun Pak Bur yakin, pasti masih ada Orang yang diberi amanat oleh Rakyat dan menjalankan Amanatnya dengan baik.

Pak Bur selalu menganggap bahwa jabatan “Orang besar” hampir mirip dengan “Supir”, karena sama-sama punya tanggung jawab besar. Semua permasalahan, mulai dari pendidikan,kesehatan, perekonomian hingga taraf kesejahteraan Rakyat merupakan tanggung jawab mereka. Tidak hanya menyangkut satu nyawa, tetapi banyak nyawa di tangan mereka. Cuman bedanya, Pak Bur adalah supir kendaaraan beroda empat yang digerakkan oleh motor-motor mesin, sedangkan “Orang Besar” merupakan supir ” Besar ” untuk kendaraan yang dinamakan Perwakilan Rakyat yang digerakkan oleh Aspirasi- Aspirasi rakyat.


Ini bukan Pak bur, Hanya seorang sahabat yang bagi saya akan menjadi Supir “Besar”

Bekerja dengan Pak Kadis membuatnya sadar bahwa jabatan tinggi yang di pegang oleh seseorang merupakan amanat rakyat. Dan pertanggung jawaban Amanat di akhirat nanti adalah hal yang penting. Dia selalu ingat cerita-cerita tentang khalifah yang meminpin umat islam dulu. Bagi sang Khalifah, memegang Amat itu ibaratnya berbaring Ranjang yang pas di atasnya terdapat Pedang-pedang yang terikat oleh seutas benang rapuh, sebuah angin yang tidak terlalu kencang dapat memutuskan benang tadi dan mengakibatkan pedangnya terlepas dan menikam sang Khalifah.

Beruntungnya Pak Bur yang dipekerjakan oleh Pak Kadis, karena dengan bekerja bersama Beliau, Pak Bur dapat melihat kehidupan “orang Besar”. Beruntung juga Pak Kadis yang mempekerjakan pak Bur, karena dapat melihat contoh perilaku manusia yang mengemban Amanat dengan penuh rasa Tanggung jawab. Beruntung juga orang yang bisa bertemu dengan Pak Bur dan Pak Kadis, karena mereka dan semua yang ada dalam cerita di atas adalah tokoh fiksi yang hidup dalam angka-angka biner otak saya. Cerita fiksi yang lahir dari sebuah perenungan dan terinspirasi dari sebuah khutbah Jum’at di hari Idul Fitri lalu.

1 komentar:

  1. @mantap, sakira tongmi yg difoto itu, sy jd pnasaran dinas apa ini? Hehe.. Tapi konon, di negeri ini, ada wakil rakyat yg menitip tandatangan daftar hadir sidang pada sopirnya. Simbiosis mutualisme?

    BalasHapus